Langsung ke konten utama

Turunkan Ego Naikkan Tensi

Beberapa hari kemaren, di kuliah lapangan Karang Sambung, kita mahasiswa Teknik geofisika S1 dan S2 melakukan pemetaan geologi sendiri. Jadi tugas kita adalah mencari singkapan batuan dan dideskripsikan dengan bantuan peta topografi dan kompas sebagai bekal untuk menjadi orientasi keberadaan kita. Nah, oke tyas gak akan nyeritain tentang kuliah ini, ada pelajaran lain yang lebih menarik. Jadi, sebelum berangkat, kita udah nentuin mau kemana kita pergi, dan sudah ditentukan kita akan ke utara Kali Mandala, entah semua anggota kelompok mendengarkan atau tidak. Mulailah kita melakukan perjalanan. Nah jalan lah kita melelui pematang sawah, nemuin satu singkapan akhirnya, deskripsikanlah batuannya. Lalu kita berjalan lagi, tujuannya sih ngelilingi bukitnya terus harusnya nemuin sungai, makin naik ke atas kita gak nyampe-nyampe dan peradaban manusia tidak terlihat, dudududuudu. Padahal waktu sudah nunjukin sekitar jam 11 siang, dan kita cuman baru nemuin 1 singkapan. Mulailah disini kita konflik. Dan hampir semua orang juga gangguin ikutan debat soal dimana letak posisi kita. Sampailah di puncak bukit seiring dengan naiknya puncak tensi anak-anak di tengah teriknya matahri soalnya seberang puncak emang tanahnya terjal, jurang! Lalalalalalla, masing-masing anggota udah punya masalah sendiri-sendiri di otaknya, ada yang masalahin jalur, baru nemuin satu singkapan, masalahin waktu yang terus berjalan, masalahin orientasi kita ada dimana. Dan tentu, tyas juga punya masalah juga, heran harusnya kan kita udah sepakat dari awal jalur perjalanan kita, seharusnya No complain, solve the problem wisely. Gak heran soal banyak cerita tentang berantem orang-orang di suatu kelompok pendakian gunung. Di saat kita ngotot dengan pendapat kita, kita berusaha meyakinkan teman-teman kita walaupun berbeda pendapat karena sebenarnya tiap orang gak ingin menanggung konsekuensi sendirian, padahal bisa dibikin simple kalo gak suka atau gak setuju ya udah pergi aja tinggalkan kelompok, ya tapi emang dasar sifat manusia, gak bisa nanggung resiko sendiri, tyas juga sebenarnya kayak gitu . Untung ada asisten-asisten yang membantu. Sampai di pilihan balik lagi ke jalan awal dan starting lagi. Yaaaa oke deh kita ambil jalan itu.
Disini tyas malah mendeskripsikan teman-teman, bukannya deskripsiin batuan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tenaga Angin sebagai Energi Alternatif

Teringat keadaan listrik d Karimun jawa yang hanya jalan selama setengah hari yaitu dari jam 6 sore hingga 6 pagi, menyadarkan saya betapa cukup beratnya hidup tanpa listrik walau setengah hari saja, hal ini pasti cukup menghambat aktivitas penduduk sekitar. Hal ini disebabkan PLN menggunakan Ten a ga Diesel sebagai pembangkit Listrik . Jadi bisa dibayangkan , betapa borosnya solar yang harus dikonsumsi untuk membangkitkan listrik. Untuk sebagian masyarakat kalangan menengah-atas mengatasiny a dengan memiliki mesin genset, yang tentu saja membutuhkan konsumsi solar juga. Padahal di daerah kepulauan seperti ini, pada bagian pesisir memiliki angin yang cukup kencang sehingga dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Jika saja pemerintah mau melirik energi ini, cost yang dikeluarkan akan lebih murah dan tidak seboros menggunakan solar ( jelas, angin sifatnya barang bebas sedangkan solar merupakan barang ekonomi yang harganya relatif merangkak naik dan makin susah dicari), s...
“ People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” ~Maya Angelou

Review : Sabtu Bersama Bapak

Semenjak Adhitya Mulya ngomongin buku ini di blog suami gila, udah gak sabar pengen beli karya-karya dia yang lain. Soalnya, saya cukup update sama novel-novelnya dari Jomblo, Gege Mengejar Cinta, Traveler’s Tale, sama Catatan Mahasiswa Gila, dan dari semua karyanya yang kocak, dia bilang novel ini karyanya yang paling beda. Sabtu Bersama Bapak mengambil tema khusus tentang keluarga. Kalo baca ceritanya sih novel ini kayaknya gambarin gimana pemikiran-pemikiran sama pengalaman hidup si empu yang ngarang novel dari fase dia sebagai anak sampai fase sekarang menjadi seorang   bapak. Kalo dari baca pengantar sih agak serius kesannya ini novel, yaa tapi yang namanya Adhitya Mulya kalo udah baca karyanya bisa bikin cengengesan sendiri. Novel ini menurut saya membawa pesan yang banyak terutama tentang arti sebenarnya memiliki sebuah keluarga karena semua orang pasti pernah menjadi anak dan mungkin memiliki anak. Semua pasti memiliki orang tua dan mungkin menjadi orangtua. Dan nove...